Sebuah kenangan yang tek pernah terlupa, sebuah perjalanan kesabaran, berusaha kuat untuk menghadapinya
Hari yang tak pernah terlupa, menjadi catatan kecil yang penuh makna dalam kehidupanku. Tepat pada tanggal 08 Juli 2013 di Pulau Sebatik, sebuah pulau kecil di Kabupaten Nunukan menjadi saksi kejadian itu. Perjalan dari Kecamatan Sebatik menuju Kecamatan Sebatik Barat menjadi awal cerita tragedi itu.
Pagi itu, saya masih sibuk dengan teman-teman posko untuk persiapan proker yang akan dijalankan esok harinya. Masih bergelut dengan si Silver, keluarga salah satu teman poskoku datang berkunjung. Kami bercerita panjang lebar tentang pulau ini. Ketika sedang asyiek bercerita, sy meminta izin untuk siap-siap berangkat ke tempat pemeriksaan kesehatan gratis. Saya dan salah seorang temanku yang kebetulan sejurusan denganku mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Si Silver dan alat GDS telah kusiapkan. Sebelum berangkat, saya menyempatkan Dhuha. Sehabis shalat, seperti ada keraguan yang menghampiri , terlintas pikiran untuk tidak berangkat. Perdebatan di alam pikiran pun terjadi, dan akhirnya saya tetap memutuskan untuk tetap berangkat.
Ransel hitam telah terpasang indah di pundak, “Sepertinya, ada yang aneh, tidak nyaman” gumamku
Seketika, saya berlari menuju kamar dan bercengkrama dengan koper. Mengambil sebuah rok kesayangan ku dan mengganti celana jeans yang telah kugunakan sebelumnya.
“Sorry, lama ka” ucapku pada temanku
Perjalanan kami pun dimuali, melewati jalan yang tak mulus dan berliku. Perjalanan yang cukup panjang. Desa Balang Siku, salah satu desa yang kami lewati. Di perjalan ini, entah pikiran saya dimana, hingga saya pun tak sadar.
“Ki, pegangki, Jatuhki nanti” kata-kata itu pun membuatku kembali tersadar. Sepanjang perjalanan kami bercerita hingga tak terasa, kami telah sampai di Desa Setabu Kec. Sebatik Barat. Masih belum tau tempat yang akan kami tuju, kami pun singgah di salah satu rumah penduduk untuk bertanya. Saya pun turun dan menghampiri warga yang sedang sibuk bercengkrama dengan ayam peliharaannya.
Ternyata perjalanan kami masih jauh, 2 Desa lagi yang harus dilewati untuk sampai di posko teman kami. Perjalanan berlanjut hingga kami tiba di Desa Liyang Bunyu. Perjalanan di desa itu lumayan bagus, selain jalan yang mulus serta tidak banyak pendakian.
“Kasiannya itu bapak-bapak sama ibu-ibu” ucap temanku
“Yang mana?Kenapaki?” *menunjuk ke arah seorang bapak-bapak dan ibu-ibu, “panasnya itu istrahat dipinggir sawah, pinggir jalan lagi, tidak ada pohonnya”
“Itu mi yang kumaksud, jatuhki”
Mendengar ucapan temanku tadi, tak ada lagi kata yang mampu kuucap “Kasiannya” batinku
**
Ketika sampai di sebuah jalan yang sepi, saya pun komentar
“Degh,, jauhnya itu poskonya anak-anak, baru sepi sekali jalan” gumamku
“Iya, jauh sekali.” Eh, liat itu jembatan besi, perasaan dari tadiki lewati sungai, barusan ada jembatan yang ada besinya, pasti ada buaya-nya. Kalau jatuh orang di situ pasti namakanki buaya” ucap temanku dengan nada bercanda
“[tertawa] sembarangnya ini, iya mungkin digh?? Ada buaya nya karna satu-satunya jembatan pake pengaman” lanjutku
Tiba-tiba “Ki, kenapa ini motor?” ucapnya dengan panik. Yah, pertanyaan itu terlontar 3 kali sebelum akhirnya kami berdua jatuh.
Kejadian yang beitu cepat berlalu, tiba-tiba saya mendapati diriku yang tadinya terhempas ke jalan , sekarang sudah berdiri. Tak ada kata yang mampu kuucap dan melihat temanku masih terguling hingga ia pun berada tepat di pinggir sungai.
Saya berusaha menenangkan diri dan menarik rok ku yang masih melekat pada terali motor. Dan tak lama, temanku pun datang
“Tidak kenapa-kenapa ji ki?”tanyanya
“Tidak ji, kau iya” tanyaku balik
Saya pun berjalan terhuyung dengan tenaga yang tersisa ke pinggir jalan
“Ki, bantu dulu kasi pindah motor, tidak ada tenagaku” katanya
“Samaji, tidak bisa ka juga” dan saya pun duduk di pinggir jalan dan melepas ransel yang masih setia di pundak.
“Ki, jam tanganmu di sana” menunjuk ke arah tengah jembatan
“Situmi, tidak bisama bergerak, Shock ka”
Kami berdua pun duduk di pinggir jalan. Saya langsung mengambil Hp dan menghubungi orang tua kudan temanku menelpon teman yang lain yang sudah sejak tadi berada di posko Barat.
Saya pun berderai air mata, menceritakan tragedi kilat yang terjadi dan saya berusaha menenangkan orang tua ku kalau saya baik-baik saja.
“Akbar, kayaknya patah tanganku degh” ucapku pasrah
“Tidak ji ki, mungkin dislokasi ji, kayak Arni ji dulu waktu kecelakaanku” ia berusaha menenangkanku
Berkali-kali kucoba, mengangkat kedua tangan, tapi semua seperti dugaanku, tanganku patah. Ketika berusaha mengangktnya, perasaanku, tanganku terangkat, tetapi pas kulihat, tanganku masih setia menggantung di bawah.
Berusaha untuk berpikir postitif, “saya baik-baik saja” pikirku
Tak lama berselang, ada seorang bapak yang lewat. Saya hanya menoleh dan tak meminta bantuan, karena kami masih menunggu teman-teman yang sudah dihubungi sebelumnya. Bapak itu tiba-tiba memutar motornya dan menghampiri kami
“Nak, kenapa berdarah?” menunjuk ke arah keningku
Saya pun meraba, dan melihatnya, “darah” saya pun mulai berpikir aneh, berpikir kalau kalau saya ada perdarahan otak. Ya, pikiran buruk pun menghantamku yang mebuatku semakin tak tahan, merasakan sakit yang sebelumnya tidak kurasakan
Temanku pun menceritakan kejadian itu kepada bapak tersebut, dan bapak tersebut menahan sebuah mobil Pick Up. Panjang lebar perbincangan kala itu, dan akhirnya saya dan Akbar di bawa ke sebuah Pustu yang jaraknya sangat jauh dari TKP.
Di mobil, saya hanya menjerit kesakitan. Saya pun makin yakin kalau tanganku patah dan terasa sesuatu yang menggores di bagian otot hinyya nyeri nya tak tertahankan.
“Pak, kapanpi sampai kodong? Sakit tanganku” Keadaanku pun mulai labil, hanya emosi yang mengusaiku saat ini
Sampai di Pustu, dibantu oleh bapak supir, saya di bawa masuk ke ruang perawatan. Seorang bapak menghampiriku. Memegang tangan kiriku yang sakit dan menggoyang-goyangkannya sembari berkata “Pak tangannya ini” dan sesakali melihatku
Seketika saya menjerit sejadi-jadinya, Teori Penyangkalan pun berlaku saat itu. Saya tidak terima kalu tangan saya patah. Semua pembicaraan saya respon dengan penuh emosi. Di Pustu itu, tak kepikiran, saya membentak orang yang lebih tua, orang itu ingin membantu saya.
“Pak, masa kita kasi begini ji? Ini luka di kepalaku perbankijuga, tangan ku juga jangan meki bilang Patah,patah, patah, spalak mi cepat, sakit tanganku “ ucapku sambil menjrit-jerit
Semua orang hanya menatap heran kepadaku,tapi ada yang kupedulikan. Keegoisan menguasaiku. Ketika dipasangkan spalak improvisasi (spalak emergensi), ya saya menamainya demikian karena spalak yang terpasang ditangku saat itu hanya sebuah gulungan kardus printer, tetapi itu cukup membatu buatku.
Setelah di pustu, saya pun dirujuk ke Puskesmas Setabu. Di sana, hanya sisa tangis yang ada. Saya tidur diatas sebuah brangkar. Sesuatu yang tak pernah kuharapkan, tetapi hari ini berberda, Tuhan memintaku untuk berbaring di atas brangkar itu. Di puskesmas itu, saya, Akbar, Fuad, Dahlan, Novi, Wahyu, dan beberapa teman lainnya sempat bercanda di sana. Emosi kembali mengusaiku ketika perawat yang dinas saat itu ingin memasangkan infus. Ya, sesuatu yang sangat kutakuti, Infus. Berharap dapat spalak yang memungkinkan, yang ada hanya sebuah rujukan ke RSUD Nunukan.
Setelah dapat surat rujukan, saya, Novi dan kak Kelvin serta dua orang perawat menuju Pelabuhan Binalawan. Kali ini, baru kali ini saya merasakan tidur di atas sebuah bak mobil Pick Up beratapkan langit. Sesuatu yang tak pernah ada di dalam benakku.
Sesampainya di Binalawan, saya bak artis yang menjadi pusat perhatian orang-orang sepanjang jalan. Di sana pula, teman-teman posko ku menyusul. Saya berusaha meyakinkan kalau saya baik-baik saja meski tangan satuku tak mampu kugerakkan. Tak lama, kami pun berangkat, melewati lautan luas dan dalam. Pikiranku pun melayang “apa yang terjadi kalau kapal ini terbalik?” apa kami akan baik-baik saja?”
Dua puluh menit bukan waku yang cepat untuk sampai ke Pelabuhan Sungai Jepun. Di sana Ambulance siap mengangkutku menuju rumah sakit.
“Ki, jauh sekali rumah sakitnya di sini” kata Novi
Senyum sunggih yang kuberikan, bukan itu yang aku pikirkan, jauh tidaknya itu tidak masalah, tapi yang mejadi pikiranku sekarang “saya harus diantar ke RS dengan ambulan” wah, sesuatu banget. Ini yang tak kusuka, sampai di RS, disambut dengan brankar, di dorong menuju UGD. Selama ini saya hanya melihat orang-orang yang didorong pakai brankar meuju ruang UGD, dan ternyata kali ini, saya yang berada di posisi itu. Sangat tidak enak, sangat menyebalkan.
Di ruang UGD, saya dan teman-teman bercada sebelum dokter menghampiriku. Keadaan yang tadinya membuatku lebih tenang, kini berubah, dihadapanku dua orang dokter dan beberapa perawat. Rasanya tak enak dikelilingi seperti ini, serasa tersangka yang akan dihakimi. Sungguh, tempat ini mumbuatku sangat tak nyaman, rasa ingin cepat-cepat keluar. Berbagai protes terlontar, namun ketidakberdayaanku membuatku menjadi seoang pesakitan yang menerima tindakan itu, pasrah.
Ruang Radiologi, di sini saya mendapat hasil radiologi yang membuat napasku seakan terhenti “Nyaris saja menembus kulit”
Gambar hasil Radiologi 080713
Empat jam berada di RS, saya memutuskan untuk pulang, saya sudah tidak mau berlama-lama berada di tempat ini, di tempat yang hanya menjadikanku seorang pesakitan. Saya menadatangani informed consent dan menyelesaikan urusan administrasi RS dan akhirnya, tidak ada lagi brankar dan infus.