Kamis, 21 November 2013

Dia dan Tetesan Embun

      
 Dermaga cinta yag tumbuh membuatnya tak sadar, kalau dia sedang menunggu ketidakpastian

Seraut wajah yang polos, lemah lembut dan berkarakter menjadi tokoh setiap skenario kehidupannya. Dia, tetesan embun. Tak ada waktu yang tak terlewatkan di episode kehidupannya, menyelami malam, mengarungi samudra alam bawah sadar.
“Embun, malam ini berharap kau menemuiku lagi” pintanya sebelum dia benar-benar terlelap
Tetesan embun yang sedari tadi dicarinya akhirnya menampakkan sosoknya. Senyum kasih yang terpancar, binar mata yang  indah, membuat dia menjadi salah tingkah. Kehidupan di alam sana sungguh menyenangkan, tak ada bayangan untuk kembali ke alam sadar.
“Embun” ucapnya pelan
Perjalanan di alam sana pun berlanjut, dia dan embun kembali merangkai cerita indah, merajut kisah yang seharusnya tak terjalin, dan menghapus alam sadar yang menjadi pemisah bagi mereka hingga tersadar ia harusnya tak bersama selamanya.
“Ini pertemuan terakhir kita, berharap cerita ini akan selalu ada” ucap embun
“tapi,, dia ingin bersama embun di sini, dia ingin embun tetap ada di sini” lirihnya
Penghujung malam itu menjadi cambuk bagi dia, tak ada lagi oksigen yang mampu ia hirup, tak ada lagi senyum kasih, tak ada lagi binar mata indah itu. Kini, luka itu harus ada dan terjadi di alam sana. Terpukul, yah, itu sangat menyakitkan bagi dia.
Waktu silih berganti, malam demi malam terlewatkan, tak ada lagi cerita di alam sana, semua mengalir begitu saja, Embun telah pergi, tak ada lagi temannya yang menemani.
“Akankah Embun merindukanku? Akan kah ia tersadar kalu kita tercipta untuk bersama meski hanya di alam sana? Embun, engkau harus tau, dia rindu padamu” ucapnya dalam lamunannya
Hari ini, mentari begitu cerah, menyapaku dengan kehangatannya. Perlahan, dia melangkahkan kaki, dan kembali menyapa sang mentari. Dalam langkahnya, ia terhenti, ada sesuatu yang beda, magnet hatinya pun mulai berputar.
Dia, tetesan embun, dia hadir di alamku. Dia telah menjelma, dia nyata, dia ada, Tetesan embun itu hadir di alam sadarku.
“Embun?” tanya dia. Masih teringat jelas senyum itu, nampak sekali, masih sangat teringat jelas bagaimana senyuman embun yang menemuinya kala malam telah datang dalam lelapnya.
“Maaf, saya bukan embun, saya Bulir Hujan” ucapnya lemah lembut
Tak peduli, kau bulir hujan, bagiku kau adalah embun, tetesan embun, temanku yang telah memutuskan untuk pergi dan kembali meski dalam sosok bulir hujan, tapi kalian sama, kalian satu jiwa, tak ada artinya kau bulir hujan atau tetesan embun, yang mau dia tahu, kalian ada sekarang untukku.
Bulir hujan mendekatinya, “ini kali ketujuh saya melihatmu bercengkrama dengan mentari” ucapan itu mengaburkan lamunannya
“ Tahu dari mana?” tanyanya penuh harap
Bulir hujan tak menjawabnya, ia hanya menatap dia yang sedari tadi menerawang masa-masa indahnya bersama tetesan embun.
“ Saya tahu, perpisahan mu dengan embun membuatmu mencari mentari. Kau merindukan embun, dia juga sama merindukanmu” ucapnya
Pembicaraan panjang lebar pun terjadi antara Dia dan Bulir Hujan.

_______________________________________________________________________part1


Tidak ada komentar:

Posting Komentar