Sabtu, 23 November 2013

Bulir Hujan

“Ketika cinta datang menyapamu, sambutlah ia dengan senyum terkasihmu, terimalah ia tanpa bayang-bayang masa lalu mu, karena masa lalu hanyalah masa lalu”

Pertemuan itu telah terjadi beberapa kali, kedekatan dia dan bulir hujan semakin tak berjarak. Seiring berjalannya waktu, bayangan tetesan embun mulai memudar dari ingatnya dan lenyap dalam lelapnya. Hujan, dia telah datang, menjadi pahlawan hati dan menghapus jejak terluka yang tergoreskan meskipun kehilangan sosok yang sebenarnya hanya ada dalam alam bawah sadarnya, sosok yang fana, menurutnya.
“Hujan, apakah kamu juga akan pergi bersama harapan ku yang baru” tanya nya khawatir
Senyum, ya, hanyalah senyuman yang hujan berikan untuk jawaban atas pertanyaan itu. Kekhawatiran yang dia rasakan semakin membuncah, dia takut suatu ketika bulir hujan pun ikut meninggalkannya dan menambahkan luka yang belum sembuh betul di dalam hatinya yang menjadikan nadi kehidupannya semakin melemah.
Siang pun menjelma menjadi malam, yah, memang tidak ada yang mampu menghentikan waktu hingga mereka harus berpisah dan kembali menunggu malam menjelma menjadi siang. Dia duduk di sudut ruangan itu, ruangan yang tak pernah hidup, beratap taburan bintang, dengan cahaya purnama. Di sana ia berbagi kegelisahannya, bercerita pada langit tentang bulir hujan.
“tanpa kau ceritakan pun, langit sudah tau perasaan mu. Yakinlah hujan akan tetap bersamu, bersama untuk selamanya” langit memberi suntikan ke nadi itu hingga harapan itu pun tak membuatnya ragu
“dia sadar, hujan tidak akan pergi, tetapi .. bagaimana nanti kalau embun kembali?”
“Tidak ada kehidupan yang berjalan tanpa pilihan, semua harus dipilih, salah memilih berarti akan menjalani kehidupan yang salah. Embun telah memutuskan untuk meninggalkanmu dan dia juga bisa memutuskan untuk kembali dan bersamamu.” jawab langit dengan senyum dengan penuh pesan tersirat
Malam semakin larut, dia pun memutuskan untuk menyelami samudra alam bawah sadarnya. Tak ada lagi harapan dan do’a yang dipanjatkan untuk bertemu embun, karena penantianya untuk siang lebih besar demi Hujan.
***
Hari ini, dia menuju dermaga cintanya, menyaksikan kasih sayang ombak dan hembusan halus sang angin. “Dermaga cinta, dia titip embun, jaga embun baik-baik, dan sampaikan kalau dia sudah bahagia, dia sudah ada hujan, dan dia ingin bersama hujan selamanya, dan dia minta, jangan hadirkan embun lagi di kehidupan dia”
Siluet merah dikejahuan sana membuatnya untuk tetap berada di dermaga itu menunggu datangnya sang hujan. Hingga siluet itu pun mulai menghilang dan mentari mulai naik beberapa kaki, yang ditunggu tak kunjung datang. Dia mulai panik.
“Hujan, ada apa denganmu? Kenapa tak menemuiku? Aku menunggumu di sini, di dermaga tempat kita pertama kali bertemu” derai kristal bening yang jatuh satu per satu dari pelupuk sudut mata indahnya.
Hujan, dia menunggumu
Di dermaga ini, dia masih menunggumu
Hujan, kamu tidak pergi kan?
Hujan, dia akan tetap menunggu meski siang telah terganti
Ketika anak-anak langit pun mengajakku bermain di sana
Aku takkan meninggalkan dermaga ini
Aku menunggumu Hujan..
Mentari mulai berada di atas kepala, tetapi dia masih berdiam di sana. Sepoi angin di dermaga itu menyapa nya dan memintanya untuk mencari tempat yang lebih teduh namun ia tetap tak berpindah, tak ingin meninggalkan dermaga cintanya.
“maaf, baru bisa menemuimu siang ini” suara itu tiba-tiba datang dari arah belakangnya
“Hujan..dia bahagia, hujan datang hari ini, dia sayang hujan, dan dia yakin, hujan tak akan meninggalkanku sebagaimana embun telah meninggalkanku” ucapnya dengan penuh rasa gembira meski kristal bening itu masih berjatuhan.
Seperti biasa, mereka menghabiskan waktu hingga malam mulai menyapa, tetapi hari ini ada sesuatu yang beda, Hujan meminta dia untuk menjadi pasangannya, menyatukan nadi kehidupan keduanya. Dengan penuh haru, ia menerima permintaan hujan.
Hari berganti, entah berapa lama. Kebahagiaan itu ia wujudkan dalam sebuah ikatan suci. Nadi kehidupan mulai berjalan, dia dan hujan hidup bersama, tak ada lagi malam yang memisahkan, tak ada lagi angin yang menuntutnya berhenti menunggu, karena sekarang, dia dan hujan tak terpisahkan lagi.
*
Perjalanan cinta mereka berjalan 5 windu, Hujan belum dan masih tidak bisa mengungkapkan kebenaran yang ada. Hingga sesuatu yang sangat mencengangkan, sesuatu yang pernah menjadi ketakutannya pun terjadi, Tetesan Embun kembali hadir dalam lelapnya. Marah, Bahagia, Sedih, Takut, Khawatir, semua rasa itu bersatu padu menekan nadi kehidupannya.
“Hujan..” ucapnya lemah
Seolah mampu merasakan apa yang sedang dia rasakan, ia mendekapnya, memberikan ketenangan, membuat nadi kehidupan itu dan berusaha menormalkannya kembali.
“Hujan, hujan, kenapa tiba-tiba Embun datang?? Dia tidak mau dia ada lagi, dia benci sama embun” ujarnya
“Dia, dia yang tenang, mungkin Embun datang untuk menyampaikan kebahagiannya melihat dia hidup bersama Hujan, dan mungkin Embun juga datang memberikan alasan sebenarnya” ungkapnya
Hujan mulai khawatir, takut perjalanannya yang telah 5 windu itu akan mematikan lilin harapan yang sudah ia jaga, tetapi kehadiran Embun, menjadi pengingat baginya untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Waktu seakan melambat,mengerti kondisi yang sulit itu, dermaga cinta itu akan diderai badai dan angin kencang, mematikan lilin harapan itu, dan............
Tak seperti dugaan, hujan mampu membuat dia menjadi tenang meskipun kebenaran itu belum ia ungkapkan. Ia menunggu hingga nadi kehidupan dia menjadi stabil.
*
Di sudut malam itu, di bawah langit berbintang dengan kilaun cahaya purnama, Hujan mengajak embun ke suatu tempat yang menjadi awal pertemuannya dengan Embun.
“Masih ingat tempat ini?” tanya hujan
“ Serasanya saya pernah ke sini dan ... sama dengan mimpiku dulu bersama Embun,,, tapi.. lupakanlah. Kenapa hujan membawaku ke sini?”
“Ada banyak hal yang harus saya sampaikan tentang Embun dan tentang Hujan, tentang pertemuan kita, tentang satu jiwa yang sama Embun dan Hujan.” Ucapnya
“Jangan membuatku bingung, Dia mau Hujan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya.”
Hujan pun menceritakan semuanya, menceritakan dengan jelas. Kekecewaan yang dia rasakan malam itu sekaligus membuatnya tidak menjadi orang bodoh lagi yang tak mengerti Embun dan Hujan.

_____________________________________________________________________________part2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar