Sabtu, 23 November 2013

Bulir Hujan

“Ketika cinta datang menyapamu, sambutlah ia dengan senyum terkasihmu, terimalah ia tanpa bayang-bayang masa lalu mu, karena masa lalu hanyalah masa lalu”

Pertemuan itu telah terjadi beberapa kali, kedekatan dia dan bulir hujan semakin tak berjarak. Seiring berjalannya waktu, bayangan tetesan embun mulai memudar dari ingatnya dan lenyap dalam lelapnya. Hujan, dia telah datang, menjadi pahlawan hati dan menghapus jejak terluka yang tergoreskan meskipun kehilangan sosok yang sebenarnya hanya ada dalam alam bawah sadarnya, sosok yang fana, menurutnya.
“Hujan, apakah kamu juga akan pergi bersama harapan ku yang baru” tanya nya khawatir
Senyum, ya, hanyalah senyuman yang hujan berikan untuk jawaban atas pertanyaan itu. Kekhawatiran yang dia rasakan semakin membuncah, dia takut suatu ketika bulir hujan pun ikut meninggalkannya dan menambahkan luka yang belum sembuh betul di dalam hatinya yang menjadikan nadi kehidupannya semakin melemah.
Siang pun menjelma menjadi malam, yah, memang tidak ada yang mampu menghentikan waktu hingga mereka harus berpisah dan kembali menunggu malam menjelma menjadi siang. Dia duduk di sudut ruangan itu, ruangan yang tak pernah hidup, beratap taburan bintang, dengan cahaya purnama. Di sana ia berbagi kegelisahannya, bercerita pada langit tentang bulir hujan.
“tanpa kau ceritakan pun, langit sudah tau perasaan mu. Yakinlah hujan akan tetap bersamu, bersama untuk selamanya” langit memberi suntikan ke nadi itu hingga harapan itu pun tak membuatnya ragu
“dia sadar, hujan tidak akan pergi, tetapi .. bagaimana nanti kalau embun kembali?”
“Tidak ada kehidupan yang berjalan tanpa pilihan, semua harus dipilih, salah memilih berarti akan menjalani kehidupan yang salah. Embun telah memutuskan untuk meninggalkanmu dan dia juga bisa memutuskan untuk kembali dan bersamamu.” jawab langit dengan senyum dengan penuh pesan tersirat
Malam semakin larut, dia pun memutuskan untuk menyelami samudra alam bawah sadarnya. Tak ada lagi harapan dan do’a yang dipanjatkan untuk bertemu embun, karena penantianya untuk siang lebih besar demi Hujan.
***
Hari ini, dia menuju dermaga cintanya, menyaksikan kasih sayang ombak dan hembusan halus sang angin. “Dermaga cinta, dia titip embun, jaga embun baik-baik, dan sampaikan kalau dia sudah bahagia, dia sudah ada hujan, dan dia ingin bersama hujan selamanya, dan dia minta, jangan hadirkan embun lagi di kehidupan dia”
Siluet merah dikejahuan sana membuatnya untuk tetap berada di dermaga itu menunggu datangnya sang hujan. Hingga siluet itu pun mulai menghilang dan mentari mulai naik beberapa kaki, yang ditunggu tak kunjung datang. Dia mulai panik.
“Hujan, ada apa denganmu? Kenapa tak menemuiku? Aku menunggumu di sini, di dermaga tempat kita pertama kali bertemu” derai kristal bening yang jatuh satu per satu dari pelupuk sudut mata indahnya.
Hujan, dia menunggumu
Di dermaga ini, dia masih menunggumu
Hujan, kamu tidak pergi kan?
Hujan, dia akan tetap menunggu meski siang telah terganti
Ketika anak-anak langit pun mengajakku bermain di sana
Aku takkan meninggalkan dermaga ini
Aku menunggumu Hujan..
Mentari mulai berada di atas kepala, tetapi dia masih berdiam di sana. Sepoi angin di dermaga itu menyapa nya dan memintanya untuk mencari tempat yang lebih teduh namun ia tetap tak berpindah, tak ingin meninggalkan dermaga cintanya.
“maaf, baru bisa menemuimu siang ini” suara itu tiba-tiba datang dari arah belakangnya
“Hujan..dia bahagia, hujan datang hari ini, dia sayang hujan, dan dia yakin, hujan tak akan meninggalkanku sebagaimana embun telah meninggalkanku” ucapnya dengan penuh rasa gembira meski kristal bening itu masih berjatuhan.
Seperti biasa, mereka menghabiskan waktu hingga malam mulai menyapa, tetapi hari ini ada sesuatu yang beda, Hujan meminta dia untuk menjadi pasangannya, menyatukan nadi kehidupan keduanya. Dengan penuh haru, ia menerima permintaan hujan.
Hari berganti, entah berapa lama. Kebahagiaan itu ia wujudkan dalam sebuah ikatan suci. Nadi kehidupan mulai berjalan, dia dan hujan hidup bersama, tak ada lagi malam yang memisahkan, tak ada lagi angin yang menuntutnya berhenti menunggu, karena sekarang, dia dan hujan tak terpisahkan lagi.
*
Perjalanan cinta mereka berjalan 5 windu, Hujan belum dan masih tidak bisa mengungkapkan kebenaran yang ada. Hingga sesuatu yang sangat mencengangkan, sesuatu yang pernah menjadi ketakutannya pun terjadi, Tetesan Embun kembali hadir dalam lelapnya. Marah, Bahagia, Sedih, Takut, Khawatir, semua rasa itu bersatu padu menekan nadi kehidupannya.
“Hujan..” ucapnya lemah
Seolah mampu merasakan apa yang sedang dia rasakan, ia mendekapnya, memberikan ketenangan, membuat nadi kehidupan itu dan berusaha menormalkannya kembali.
“Hujan, hujan, kenapa tiba-tiba Embun datang?? Dia tidak mau dia ada lagi, dia benci sama embun” ujarnya
“Dia, dia yang tenang, mungkin Embun datang untuk menyampaikan kebahagiannya melihat dia hidup bersama Hujan, dan mungkin Embun juga datang memberikan alasan sebenarnya” ungkapnya
Hujan mulai khawatir, takut perjalanannya yang telah 5 windu itu akan mematikan lilin harapan yang sudah ia jaga, tetapi kehadiran Embun, menjadi pengingat baginya untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Waktu seakan melambat,mengerti kondisi yang sulit itu, dermaga cinta itu akan diderai badai dan angin kencang, mematikan lilin harapan itu, dan............
Tak seperti dugaan, hujan mampu membuat dia menjadi tenang meskipun kebenaran itu belum ia ungkapkan. Ia menunggu hingga nadi kehidupan dia menjadi stabil.
*
Di sudut malam itu, di bawah langit berbintang dengan kilaun cahaya purnama, Hujan mengajak embun ke suatu tempat yang menjadi awal pertemuannya dengan Embun.
“Masih ingat tempat ini?” tanya hujan
“ Serasanya saya pernah ke sini dan ... sama dengan mimpiku dulu bersama Embun,,, tapi.. lupakanlah. Kenapa hujan membawaku ke sini?”
“Ada banyak hal yang harus saya sampaikan tentang Embun dan tentang Hujan, tentang pertemuan kita, tentang satu jiwa yang sama Embun dan Hujan.” Ucapnya
“Jangan membuatku bingung, Dia mau Hujan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya.”
Hujan pun menceritakan semuanya, menceritakan dengan jelas. Kekecewaan yang dia rasakan malam itu sekaligus membuatnya tidak menjadi orang bodoh lagi yang tak mengerti Embun dan Hujan.

_____________________________________________________________________________part2

Kamis, 21 November 2013

Dia dan Tetesan Embun

      
 Dermaga cinta yag tumbuh membuatnya tak sadar, kalau dia sedang menunggu ketidakpastian

Seraut wajah yang polos, lemah lembut dan berkarakter menjadi tokoh setiap skenario kehidupannya. Dia, tetesan embun. Tak ada waktu yang tak terlewatkan di episode kehidupannya, menyelami malam, mengarungi samudra alam bawah sadar.
“Embun, malam ini berharap kau menemuiku lagi” pintanya sebelum dia benar-benar terlelap
Tetesan embun yang sedari tadi dicarinya akhirnya menampakkan sosoknya. Senyum kasih yang terpancar, binar mata yang  indah, membuat dia menjadi salah tingkah. Kehidupan di alam sana sungguh menyenangkan, tak ada bayangan untuk kembali ke alam sadar.
“Embun” ucapnya pelan
Perjalanan di alam sana pun berlanjut, dia dan embun kembali merangkai cerita indah, merajut kisah yang seharusnya tak terjalin, dan menghapus alam sadar yang menjadi pemisah bagi mereka hingga tersadar ia harusnya tak bersama selamanya.
“Ini pertemuan terakhir kita, berharap cerita ini akan selalu ada” ucap embun
“tapi,, dia ingin bersama embun di sini, dia ingin embun tetap ada di sini” lirihnya
Penghujung malam itu menjadi cambuk bagi dia, tak ada lagi oksigen yang mampu ia hirup, tak ada lagi senyum kasih, tak ada lagi binar mata indah itu. Kini, luka itu harus ada dan terjadi di alam sana. Terpukul, yah, itu sangat menyakitkan bagi dia.
Waktu silih berganti, malam demi malam terlewatkan, tak ada lagi cerita di alam sana, semua mengalir begitu saja, Embun telah pergi, tak ada lagi temannya yang menemani.
“Akankah Embun merindukanku? Akan kah ia tersadar kalu kita tercipta untuk bersama meski hanya di alam sana? Embun, engkau harus tau, dia rindu padamu” ucapnya dalam lamunannya
Hari ini, mentari begitu cerah, menyapaku dengan kehangatannya. Perlahan, dia melangkahkan kaki, dan kembali menyapa sang mentari. Dalam langkahnya, ia terhenti, ada sesuatu yang beda, magnet hatinya pun mulai berputar.
Dia, tetesan embun, dia hadir di alamku. Dia telah menjelma, dia nyata, dia ada, Tetesan embun itu hadir di alam sadarku.
“Embun?” tanya dia. Masih teringat jelas senyum itu, nampak sekali, masih sangat teringat jelas bagaimana senyuman embun yang menemuinya kala malam telah datang dalam lelapnya.
“Maaf, saya bukan embun, saya Bulir Hujan” ucapnya lemah lembut
Tak peduli, kau bulir hujan, bagiku kau adalah embun, tetesan embun, temanku yang telah memutuskan untuk pergi dan kembali meski dalam sosok bulir hujan, tapi kalian sama, kalian satu jiwa, tak ada artinya kau bulir hujan atau tetesan embun, yang mau dia tahu, kalian ada sekarang untukku.
Bulir hujan mendekatinya, “ini kali ketujuh saya melihatmu bercengkrama dengan mentari” ucapan itu mengaburkan lamunannya
“ Tahu dari mana?” tanyanya penuh harap
Bulir hujan tak menjawabnya, ia hanya menatap dia yang sedari tadi menerawang masa-masa indahnya bersama tetesan embun.
“ Saya tahu, perpisahan mu dengan embun membuatmu mencari mentari. Kau merindukan embun, dia juga sama merindukanmu” ucapnya
Pembicaraan panjang lebar pun terjadi antara Dia dan Bulir Hujan.

_______________________________________________________________________part1


Rabu, 20 November 2013

Kerinduan, Nadi Kehidupan

Kristal bening ini telah membuncah, Kerinduan yang sangat mendalam, Tetesan Embun yang menjadi nadi kehidupanku
Langit malam, adakah kau mengerti apa yang kurasakan saat ini?

Dalam lamunanku, teringat sosok polos, sosok yang selalu ada dalam hari-hariku, tiba-tiba menghampiriku.
“Kak Rizki, mau pulang? Lebaran di sini saja kak, kami rindu kakak, tinggal di sini sajaNad ya?”
Pertanyaan yang hanya mampu kujawab dengan seutas senyum sembari berkata “Insya Allah, nanti kalo kakak punya rezeki, punya kesempatam, kakak nanti jalan-jalan ke sini lagi.”
Muka polos itu mulai melemas, hati ini berusaha kukendalikan, membantuku menahan kristal bening itu untuk tetap berada di peraduannya.

Malam ini, langit malam tanpa kilaua cahaya bulan, malam yang kehilangan bintang kecil di sana, malam yang kehilangan pesonanya, mendamba kehadiran bulan dan bintang. Tapi, malam, sekarang kau tak sendiri dalam kegalauan itu,  kegalauan  yang sama mulai melanda sosok perempuan itu di sudut jendela keheningan malam. Kerinduan yang dia rasakan tak terelakkan, kristal bening yang sedari tadi ia tahan pun keluar dari peraduannya, membuncah tak terelakkan. Tersadar, sekarang waktu dan jarak menjadi pemisah bagi kita.
Tiga bulan lamanya, perpisahan yang terjadi membuatku memanggil memori indah yang telah kurapikan, kerinduanku pada mereka, kepada keluarga baruku di sana, keluarga kecil nan hangat. Detik demi detik, menit berubah menjadi jam, jam berubah menjadi hari, siang dan malam pun silih berganti. Sebulan bukan waktu yang cukup bersama mereka, kehangatan keluarga kecil itu sangat melekat indah dalam alam sadarku. Agustus, yah, bulan itu menjadi saksi perpisahan kita, bulan itu menjadi penutup akhir cerita kita.
Menjelajah memori indah yang pernah ada, mengingat semua kenangan yang kita buat.
Adakah waktu bagi kita untuk selalu bersama?
Menghapus jarak dan waktu yang menjadi pemisah.
Adakah kalian merasakan hal yang sama?
Indah, terlalu indah. Berharap ada mesin waktu, kembali ke masa itu, masa kita bersama, menguak kembali cerita yang pernah di buat. Langit malam, kuharap kau menemaniku malam ini, menghela kerinduaku pada mereka. Langit malam, jangan pernah bosan dengar keluhaku, keluh kesahku padamu.
Sekarang, langit tak berbintang, tak ada cahaya rembulan, malam sunyi menemaniku di sudut ruang bercelah itu.
Langit malam, tahukah kau kerinduanku saat ini?
Bisakah kau mengintip langit lain di sana?
Bisakah kau menanyakan kabar tentang mereka?
Adakah mereka merasakan apa yang kurasa saat ini?

Langit malam, bantu aku tersenyum malam ini
Bantu aku, menghilangkan kerinduan ini
Langit tak berbintang, aku menunggu jawabanmu
Jangan biarkan kerinduan ini menghanyutkanku

Kerinduan dan hati yang penuh tanya
Langit malam, bantu aku
Kirimkan seseorang malam ini, tuk mengobati kerinduanku

Kerinduan yang kurasakan, luapan hati yang tak terjawab, malam ini, hanya harapan besar yang mampu kuutarakan, berharap sosok polos itu datang dan mengobati kerinduanku.


Sabtu, 16 November 2013

Perjalanan Menuju Garda Terdepan Indonesia

Nunukan, salah satu ibu kota provinsi di Kalimantan, tetapi Nunukan kota yang cukup sempit. Di sini kami menginap selama 3 hari. Kami menghabiskan waktu untuk beristrahat penuh di sini karena perjalanan Sebatik masih panjang.
Pagi hari di kota yang cukup sempit ini, kami pun sibuk menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah, dan mengatur barang-barang.
“ KKN di sini meki deh baru pulang, diterlantarkanjeki di sini, tidak ada supervisor” kata salah satu teman kami
“ Merah Putih untuk Sebatik ! ingat teman-teman, ini Visi kita” ujar salah seorang lagi
“ Mauji datang supervisor besok, maujeki najenguk” kata Korwil
Setelah semua beres, kami pun ngantri untuk mandi, karena di rumah yang kami tempati hanya ada 1 kamar mandi dan kami ber 50 jadi antrian yang cukup panjang ini membuat kami menjamak madi pagi dan sore. Sehabis mandi, saya dan kak Hajrah tertarik untuk mengelilingi Nunukan meski terik menyayat kulit. Kami berjalan mengikuti kemana arah kaki kami melangkah.
Tibalah kami di persimpangan jalan, kami memilih jalan ke bukit kecil yang cukup tinggi karena kami penasaran ada apa di balik bukit tersebut. Sepanjang jalan, kami bercerita tentang beberapa kejadian yang terjadi di kapal, dan kami pun tidak menyadari kami telah sampai di atas bukit.
“ Kak, mauki kemana ini? Jalan bodo-bodo ki, tidak ada apa-apa di sini” ujarku
“ Liatki dek, dibelakang ta, keren sekali pemandangannya, cantik lautnya” ujar kak Hajra
“ Kak, pulang meki deh, tidak enak perasaanku, laparma juga” ujarku
Kami pun berjalan kembali menuju posko. Tengah jalan, kami pun singgah membeli es kelapa muda. Kurang lebih satu jam kami menghabiskan waktu di warung kecil itu dan kemudian kami kembali ke posko.
“Degh, ini dua orang e dari manami,.. eh, anak kecil, dari mana mubawa kakak Hajramu?” tanya K Alim
“ Biasa kak, kalo orang pajokka, tidak enak perasaannya tinggal di rumah, tidak ada dikerja. Darika tadi di bukit kak baru singgahka makan es kelapa muda, degh enaknya..siang-siang lagi..” ujarku sambil menuju ayunan
“ Oh, begitumi anak kecil digh, tidak diingatmi teman-temannya di sini, pergi makan tidak panggil-panggil” ujar kak Alim
“ Tidak Alim, kebetulanji ada di liat penjual baru hauski juga jalan siang-siang jadi singgahmeki kasi basah tenggorokan” Ujar k Hajrah
“ Kak, mauka pergi lagi sebentar sore sama kak Hajrah, tidak mauki ikut? Mauka ke Alun-alun” ujarku
“ Panggilka dek nah, mauka dulu pergi main Futsal” Ujar kak Alim sambil berjalan menuju ke lapangan Futsal yang tepat berada di sebelah rumah Ninis.
Saya pun berjalanan menuju ayunan dan bermain ayunan sambil menyaksikan keseruan teman-teman mengisi TTS dan bermain UNO. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hingga waktu yang menunjukkan puku 16.00 dan kak Hajrah pun mengajakku untuk siap-siap untuk mengelilingi alun-alun.
Setelah bersiap-siap, kami berjalan beberapa gerombogan. Saya, K Hajrah, Isma, Nurul, K Fauzan, dan Mukhlisa gerombongan terakhir.
“ Kak Uchan, mana Kak Alim?” tanyaku
“ Duluanmi, samaki gerombolannya Said” jawab kak Fauzan
Kami menyusuri jalan, dan yah, perjalanan kami lumayan jauh untuk menuju alun-alun. Ditengah perjalanan kami, kami mendapat SMS dari Korwil untuk segera bersiap-siap untuk makan malam bersama Bupati Nunukan, namun SMS itu tidak dihiraukan. Satu jam setengah kami berjalan, kami belum juga menemukan alun-alun karena kami mengambil arah jalan yang berbeda dengan teman-teman yang lain. Hingga, kami pun melihat taman yang cukup besar, yang serupa tempat wisata.
“ Kak, terkunci tamannya” jawabku dengan lemas
“ Kak, ayomi, ke alun-alun, ada semuami anak-anak di sana” ujar Isma
“ Mba’, kalo mau masuk boleh nanti saya buka tamannya” teriak salah satu warga yang berada di seberang jalan
“ Boleh mba’? gak ngerepotin?” tanya kak Hajra dengan suara agak berteriak
Sambil berjalan menuju arah kami, “iya mba, ngak apa-apa” ujarnya
Kami pun dipersilahkan masuk ke taman itu, dan ketika baru masuk kami pun langsung berfoto-foto di sana. Pemandangan tempat ini begitu indah, bunga teratai yang bermekaran, arsitektur taman yang indah, dananu buatan yang cukup luas, dan area bermain.
Setelah foto-foto, saya dan kak Hajrah berpisah dengan gerombolan kami. Teman-teman kami langsung menuju ayunan dan jungkat-jangkit dan bermain di sana, sedang saya dan kak Hajrah berlan menyusuri danau.
“ Kak, mauka ke sana yang ada bebek-bebek kayak di anjungan” ujarku
“ Ayomi paeng anak kecil, nanti nangiski” ujarnya sambil tertawa
Saya pun menuju ke sana, yah lumayan jauh dari tempat teman-teman. Setelah sampai di sana, saya menemukan patung yang cukup besar namun belum selesai. Patung itu berbentuk naga yang menjuntai begitu panjang mengarah WC umum. Kami pun mengambil foto di sana.
Kekita kami keasyikan berfoto, sebuah bayangan hitam melintasi kami. Entah itu apa, apakah halusinasi saya atau bukan, saya tidak tau pasti, ketakutanku mulai merasuki.
“ Kak, ayomi degh, gabung dengan teman-teman, kayaknya seru di sana” Ujarku dengan lemas
“ Kenapa pucat dek? Sakit?” tanyanya panik melihat mukaku yang tidak seceriah dan semerah tadi
“ Tidakji kak, tidak enak perasaanku ayomi deh, mauka juga miksi” ujarku
Karena kasihan kak Hajrah pun mememaniku bergabung dengan teman-teman. Di sana, ketakutanku pun mulai memudar, saya dan beberapa anak kecil yang ikut bermain jungkat-jangkit. Setelah lelah, saya pun naik ayunan dan bercanda dengan teman-teman. Tak berselang lam, suara mesjid mulai kedengaran tapi belum adzan. Saya dan teman-teman kembali melanutkan perjalanan kami menuju alun-alun. Perjalanan kami ke alun-alun masih lumayan panjang. Kami tetap menyusuri jalan, meski kaki kami sudah tank sanggup untuk berjalan. Ketika sampai di persimpangan jalan, kami memutuskan untuk mengambil Taxi dan kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, kami langsung mengambil antrian untuk mandi. Setelah ngantri mandi, saya dan beberpa teman yang lain menyetrika pakaian.
“ We, belumpi kering pakainta yang diloundry, bagaimanami ini? Disetrika basahmi saja nah” ujar K Ira
“ Alhamdulillah, untung mencucika tadi subuh, jadi keringmi cucianku” ujarku
“ Hahahaha,,, iya, kukira diloundry kilat cepat, andai saya tau juga adik saya cuci sndiriji” jawab kak Ira
Setelah kami semua telah siap, kami menunggu jemputan bus PEMDA. Kami menunggu lumayan lama, dan tak lama ada kabar bahwa mobilnya tidak bisa digunakan. Kami pun menghubungi Ninis. Tetapi malam itu, tidak semua dari kami yang berangkat karena keterbatasan kendaraan. Saya dan beberapa teman tinggal di rumah dan kami membahas tentang kapan ada kejelasan dari pihak PEMDA untuk mengizinkan kami dan memberangkatkan kami ke Sebatik.
Pukul 21.00 teman-teman yang dari rumah jabatan menceritakan hasilpertemuan mereka dengan bapak Bupati Nunukan.
“ Teman-teman, ternyata belumpi UPT urus persuratannya untuk masuk ke Sebatik jadi terlambatki ke sana” ujar Kak Ira
“ Edd,, UPT toh, mentang-mentang itu Sebatik, pulau binaannya UNHAS, tidak neperhatikanki administrasinya”
“ UPT toh, cuek sekali, janganmi berangkatki kalo misalnya belum siap, PEMDA terus nasalahkan, baru mereka tidak jelas, apalagi itu kepalanya UPT, namendingkan jemput anaknya yang KKN di Malaysia, nalupakanki semua di sini. Jangan meki KKN deh, di sini meki tinggal baru pulang” ujar teman-teman
“ Teman-teman, nabilang tadi ibu Nikke, besok ke kantor Bupatiki untuk urus administrasi sekaligus pelepasanmeki” ujar Korwil
Malam ini suasana memanas, semua unek-unek terhadap UPT dan berbagai macam umpatan untuk UPT pun keluar. Kekesalan kami mulai meningkat. Mulai sebelum berangkat, hingga kami terlantar di Nunukan selama beberapa hari dan administrasi kami belum selesai. Korwil pun menghubungi Supervisor dan mendesaknya untuk segera ke Nunukan dan bertemu dengan Pak Bupati dan Ketua IKA UNHAS di Nunukan dan segera menyelesaikan administrasi.
Emosi yang meluap malam itu, membuat kami susah untuk tidur. Kami berkumpul dengan teman-teman posko dan mendiskusikan tentang jadwal pelaksanaan proker di Sebatik, tetapi acapkali membahas Nunukan sehingga diskusi posko tidak efektif.
Malam terus berlalu, pukul 04.30 dini hari, saya masuk ke kamar dan memutuskan untuk tidur. Sesampai di kamar, semua tetamn-teman tertidur pulas dan saya mencari tempat kosong untuk merebahkan badan. Tak lama saya tertidur, salah satu teman saya terjatuh dari tempat tidur. Saya pun sontak tertawa melihat ekspresinya yang begitu polosnya.
“ Kenapaki Cokal?” tanyaku
“ Licin bajuku” jawabnya sambil membaringkan badannya
Saya pun kembali berusaha menutup mata untuk beristrahat sejenak.
Pagi hari, saya pun sarapan bersama teman-teman, sementara Korwil masih sibuk mengurus KKN kami. Setelah sarapan, kami pun mulai ngantri untuk mandi. Tak lama setelah kami mandi, Supervisor kami datang.
“ Assalamu’alakum, nak minta maaf, pak Bahar terlambat karena harus mengurus teman-temannya yang KKN di Polman” ujar Pak Bahar
“ Wa’alaikum salam pak” jawab kami dengan cuek. Yah, maklum, kami masih ngambek sama Supervisor.
Tak lama, suasana menjadi normal kembali ketika kami akan segera ke kantor Bupati. Jarak dari rumah Ninis ke kantor Bupati lumayan jauh. Butuh 30 menit perjalanan. Sepanjang jalan, kami mulai berkomunikasi normal denga supervisor dan meluapkan keluh kesah kami.
“ Kak, kenapaki tidak antari mahasiswata ke miangas? Na kita Supervisornya” tanya salah satu temanku
“ Di tugaskan untuk temani bapak ke sini, tapi sudahmi kuantar sampai Manado” jawab Kak Riza
“ Kak, kenapa tidak datang Nosakros?” tanya Ade
“ Sibukki dek, banyak yang beliau urus” jawab kak Riza
Kejengkelan teman-temanpun mulai memanas. Karena hanya satu Supervisor yang datang dan ditemani oleh Supervisor Miangas. Yah, berbagai umpatan dan kekesalan kepada ke Arya (Nosakros) kami samapaikan kepada pak Bahar dan kak Riza.
Tak lama kami bercerita, kami tiba di kantor Bupati. Kami penerimaan dan sekaligus pelepasan ke Sebatik. Di Sini, pak Bupati dan Asisten 1 mengungkapkan kekalannya kepada kami karena tidak ada koordinasi dari UPT KKN. Setelah penyambutan, kami pun bertemu dengan kepala kecamatan masing-masing. Kami cukup kecewa karena kepala kecamatan Sebatik Induk tidak datang karena masih berada di Jakarta. Kami berdiskusi dengan IKA UNHAS terkait kondisi Kecamatan Sebatik Induk.
Pukul 14.00, kami semua kembali ke rumah Ninis. Saya dan teman-teman mempersiapkan barang-barang karena besok paginya kami harus ke pelabuhan Sungai Jepun untuk menyebarang ke Sebatik. Setelah barang semua rapi, kami beristrahat di kamar. Ketika keluar kamar, saya mendapati temanku Dian dan Ririn sedang duduk di ruang tengah. Seketika, pak Bahar memanggilku
“ Nak, tahan dulu temannya, pegang belakangnya” ujar pak Bahar
Saya pun ke berjalan mengarah ke Dian dan menahan belakangnya. Tak lama saya menahannya, tiba-tiba Dian sontak berteriak dan mengamuk. Badannya begitu dingin.
“ Nak, tahan Dian, jangan sampai lari” Ujar Pak Bahar
“ Pak, tidak kuatka tahanki” ujarku
Saya pun berusaha untuk menahannya. Kejadian kesurupanpun kembali terulang dan kali ini korbannya adalah Dian. Tetapi kejadian ini cukup aneh. Ini adalah kali pertamanya saya menahan orang kesurupan seaneh ini. Ketika kami membacakan Ayat Kursi, tiba-tiba ia langsung menyuruh kami berhenti membacanya dan ia yang melanjutka. Subhanallah, bacaannya begitu indah kami malah tertegun.
“ Saya Ibrahim, jin muslim, saya imam jin di dunia. Saya lebih gagah dari Salman Al- Fakhrizi. Andai kalian bisa lihat saya, semua perempuannya akan jatuh cinta kepadaku..” ujar makhluk yang tak diketahui itu
“ Sebenarnya ini siapa? Kenapa masuk ke Dian?” tanya pak Bahar
“ Saya sayang sekaliki kasian Dian, kusukaki. Lama sekalima suka ki Dian, tidak mauka keluar, kusayang sekaliki dian. Mauka menikah sama Dian. Kalo di rumahnyami Dian, tidak bisama liatki, lama sekalimi kutunggu ini sampai akhirnya masukka di Dian.” Ujarnya
“ Kalo kisayangki Dian, kenapaki siksa Dian?” tanya Apri
“Ku sayang sekali kodong Dian Apri, mauka menikah sama Dian” tak lama ia Sontak berteriak “ Berhentiko bodo’.. Jangan meko mengaji, jelek bacaan mu. Lebih pintarka daripada kau, wudhu mu saja jelek” teriaknya
“ Mana Angga, angga itu bodo’,, tadi Dian suruh kasi bangun tapi tidak nakasi bangunki shalat Subuh, mana Angga?” ujarnya
Sungguh, ini kejadian teraneh yang kami alami. Tiga jam tak terasa, saya lelah untuk menahan badan Dian. Sayapun meminta teman untuk menganti saya.
“ Belum shalat azhar Dian, shalat dulu Dian. Jin Muslim pasti tauji kalo shalat itu wajib” ujar pak Bahar
“ Tidak mauka keluar, kusayangki kodong Dian. Mauka Nikah sama Dian” ujarnay
Saya berjalan menuju kursi dan beristrahat sejenak, dan tak berapa lama temanku pun minta digantikan untuk menahan tangan Dian. Ketika saya jalan mendekat, mata kami saling bertatapan dan ia mengamuk dan menyuruhku keluar. Jiah, dari pada cari maslah mending keluar main ayunan.
“ Kenapa keluar Rezky” tanya kak Riza
“ Nausirka Ibrahim kak” jawabku sambil duduk di ayunan
Teman-teman cowokpun tertawa mendengarnya. Dan tak berapa lama, terjadi keributan di dalam. Saya cukup penasaran dengan kejadian di dalam dan bukan prihatin dengan Dian kami jadikan Ibrahim yang mengaku jin muslim yang merasuki tubuh Dian. Setiap orang yang masuk, Ibrahim mengomentarinya
“ Kak Riza, Kenapaki kasi lolos Dian di Sebatik? Kita taumi Dian. Temannyaki Dian menyiar di Radio Medika toh? Dari sanaja juga. Kukenalmi semua orang-orang di Radio Medika. Bodo’ memangki kita kak Riza, kenapa na dibiarkanki Dian ikut” ujarnya sambil menatap kak Riza
Kak Riza berjalan keluar sambil tertawa, dan menyuruh salah satu dari kami untuk masuk dan itu menjadi mainan kami.
Antara percaya dan tidak, kejadian ini begitu aneh. Semua yang diketahui Dian diungkapkan. Ketika adzan Magrib, saya dan teman-teman beristrahat di teras mesjid karena banyak dari kami yang halangan. Sehabis magrib, saya dipanggil untuk kembali ke rumah tetapi teman-teman belum mau kembali. Setelah lama menjadi makanan nyamuk di teras mesjid, kami memutuskan untuk kembali, tetapi kesurupan itu belum selesai juga. Kejadian ini berlangsung kurang lebih hampir 6 jam.
            Sungguh luar biasa. Perjuangan Sebatik masih panjang, tetapi dari sinilah kami mengambil hikmah KKN ini, begitu besar perjuangan para pejuang merah putih untuk Sebatik. KKN tidak haruslah hidup seperti yang diinginkan, penderitaan KKN akan menjadi cerita indah yang tak terlupakan.


 ___________________________________________________________Next. Sebatik 85